I.
Sejarah Bangsa
Berkaitan Dengan Pancasila.
Pancasila adalah lima nilai dasar luhur yang ada dan berkembang bersama dengan bangsa Indonesia sejak dahulu. Sejarah merupakan deretan peristiwa yang saling berhubungan. Peristiwa-peristiwa masa lampau yang berhubungan dengan kejadian masa sekarang dan semuanya bermuara pada masa yang akan datang. Hal ini berarti bahwa semua aktivitas manusia pada masa lampau berkaitan dengan kehidupan masa sekarang untuk mewujudkan masa depan yang berbeda dengan masa yang sebelumnya.
Dasar Negara merupakan alas atau fundamen yang menjadi pijakan dan mampu memberikan kekuatan kepada berdirinya sebuah Negara. Negara Indonesia dibangun juga berdasarkan pada suatu landasan atau pijakan yaitu pancasila. Pancasila, dalam fungsinya sebagai dasar Negara, merupakan sumber kaidah hukum yang mengatur Negara Republik Indonesia, termasuk di dalamnya seluruh unsur-unsurnya yakni pemerintah, wilayah, dan rakyat. Pancasila dalam kedudukannya merupakan dasar pijakan penyelenggaraan. Negara dan seluruh kehidupan Negara Republik Indonesia.
Pancasila sebagai dasar Negara
mempunyai arti yaitu mengatur penyelenggaraan pemerintahan. Konsekuensinya adalah
Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum. Hal ini menempatkan
pancasila sebagai dasar Negara yang berarti melaksanakan nilai-nilai Pancasila
dalam semua peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, sudah
seharusnya semua peraturan perundang-undangan di Negara Republik Indonesia
bersumber pada Pancasila.
A.
Pancasila
Era Pra Kemerdekaan
Asal Mula Pancasila Secara Budaya
Menurut Sunoto (1984) melalui kajian filsafat Pancasila,
menyatakan bahwa unsur-unsur Pancasila berasal dari bangsa Indonesia sendiri,
walaupun secara formal Pancasila baru menjadi dasar Negara Republik Indonesia
pada tanggal 18 Agustus 1945, namun jauh sebelum tanggal tersebut bangsa
Indonesia telah memiliki unsur-unsur Pancasila dan bahkan melaksanakan di dalam
kehidupan merdeka. Sejarah bangsa Indonesia memberikan bukti yang dapat kita
cari dalam berbagai adat istiadat, tulisan, bahasa, kesenian, kepercayaan,
agama dan kebudayaan pada umumnya. (Sunoto, 1984: 1). Dengan rinci Sunoto
menunjukkan fakta historis, diantaranya adalah :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa : bahwa di Indonesia
tidak pernah ada putus-putusnya orang percaya kepada Tuhan.
2.
Kemanusiaan yang adil
dan beradab : bahwa bangsa Indonesia terkenal ramah tamah, sopan santun, lemah
lembut dengan sesama manusia.
3.
Persatuan Indonesia :
bahwa bangsa Indonesia dengan ciri-cirinya guyub, rukun, bersatu, dan
kekeluargaan.
4.
Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan : bahwa
unsur-unsur demokrasi sudah ada dalam masyarakat kita.
5.
Keadilan social bagi
seluruh rakyat Indonesia : bahwa bangsa Indonesia dalam menunaikan tugas
hidupnya terkenal lebih bersifat social dan berlaku adil terhadap sesama.
Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia, ditetapkan
pada tanggal 18 Agustus 1945 sebagai dasar negara, maka nilai-nilai kehidupan
berbangsa, bernegara dan berpemerintahan sejak saat itu haruslah berdasarkan
pada Pancasila, namun pada kenyataannya, nilai-nilai yang ada dalam Pancasila
telah dipraktekkan oleh nenek moyang bangsa Indonesia dan kita praktekkan
hingga sekarang. Hal ini berarti bahwa semua nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila telah ada dalam kehidupan rakyat Indonesia sejak zaman nenek moyang.
Teori Nilai Budaya
Bangsa Indonesia mengakui bahwa Pancasila telah ada dan
dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari sejak bangsa Indonesia itu ada.
Keberadaan Pancasila masih belum terumuskan secara sistematis seperti sekarang
yang dapat kita lihat. Pancasila pada masa tersebut identik dengan nilai-nilai
luhur yang dianut bangsa Indonesia sebagai nilai budaya. Nilai budaya merupakan
pedoman hidup bersama yang tidak tertulis dan merupakan kesepakatan bersama
yang diikuti secara suka rela.
Nilai budaya merupakan suatu upaya untuk menjawab
persoalan-persoalan yang cukup vital dalam kehidupan manusia. Nilai budaya
merupakan cara manusia menjawab baik secara pribadi atau masyarakat terhadap
masalah-masalah yang mendasar di dalam hidupnya. Nilai tersebut merupakan suatu
sistem yang di dalamnya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam
pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka
anggap amat bernilai dalam hidup. (Koentjaraningrat, 1974: 32). Nilai budaya
akan mempengaruhi pandangan hidup, sistem normatif moral dan seterusnya hingga
akhirnya pengaruh itu sampai pada hasil tindakan manusia.
Nilai budaya dengan masing-masing orientasinya akan mempengaruhi
pandangan hidup. Pandangan hidup adalah sesuatu yang dipakai oleh masyarakat
dalam menentukan nilai kehidupan. Pandangan hidup sebenarnya meliputi bagaimana
masyarakat memandang aspek hubungan dalam hidup dan kehidupan yakni hubungan
manusia dengan yang transenden, hubungan dengan diri sendiri, dan hubungan
manusia dengan sesama makhluk lain. Dalam bahasa Notonagoro dikenal
istilah-istilah kedudukan kodrat, susunan kodrat, sifat kodrat manusia. Dari
sini dapat disimpulkan bahwa manusia mempunyai tiga kecenderungan mendasar
yaitu theo-genetis, bio-genetis, dan sosio-genetis.
Asal Mula Pancasila Secara Formal
A.T. Soegito (1999: 32) dengan mengutip beberapa sumber bacaan
menjelaskan bahwa mengenal diri sendiri berarti mengetahui apa yang dapat
dilakukannya, dan tak seorang pun akan tahu apa yang dapat dilakukannya sebelum
dia mencoba, satu-satunya petunjuk yang dapat ditemukan untuk mengetahui
sesuatu yang dapat dilakukan manusia adalah dengan mengetahui kegiatan-kegiatan
yang telah dilakukan oleh manusia yang terdahulu. Oleh karena itu, nilai
sejarah terletak pada kenyataan bahwa ia mengajarkan apa yang telah dilakukan
oleh manusia dan dengan demikian apa sesungguhnya manusia. Tanpa mengetahui
sejarah, seseorang tidak dapat memperoleh pengertian kualitatif dari
gejala-gejala sosial yang ada. Secara rinci Sartono Kartodirdjo menjelaskan
bahwa fungsi pengajaran sejarah nasional Indonesia meliputi : 1. Membangkitkan
perhatian serta minat kepada sejarah tanah airnya; 2. Mendapatkan inspirasi
dari cerita sejarah; 3. Memupuk alam pikiran ke arah kesadaran sejarah; 4.
Memberi pola pikiran ke arah kesadaran sejarah; 5. Mengembangkan pikiran
penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam memahami sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang terkait
dengan Pancasila, Dardji Darmodihardjo mengajukan kesimpulan bahwa nilai-nilai
Pancasila telah menjiwai tonggak-tonggak sejarah nasional Indonesia yaitu 1.
Cita- cita luhur bangsa Indonesia yang diperjuangkan untuk menjadi kenyataan;
2. Perjuangan bangsa Indonesia tersebut berlangsung berabad-abad, bertahap dan
menggunakan cara yang bermacam-macam; 3. Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945
merupakan titik kulminasi sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang dijiwai oleh
pancasila; 4. Pembukaan UUD 1945 merupakan uraian terperinci dari Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945; 5. Empat pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945;
paham negara persatuan, negara bertujuan mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia, negara berdasarkan kedaulatan rakyat, negara
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab; 6. Pasal-pasal UUD 1945 merupakan uraian terperinci dari pokok-pokok
yang terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945 yang berjiwakan Pancasila; 7. Maka
penafsiran sila-sila pancasila harus bersumber, berpedoman dan berdasar kepada
Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945. (Dardji Darmodihardjo, 1978: 40).
Secara historis
rumusan- rumusan Pancasila dapat dibedakan dalam tiga kelompok (Bakry, 1998:
20) :
1.
Rumusan Pancasila yang
terdapat dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia yang merupakan tahap pengusulan sebagai dasar negara Republik
Indonesia, termasuk Piagam Djakarta.
2.
Rumusan Pancasila yang
ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia sebagai dasar filsafat
Negara Indonesia yang sangat erat hubungannya dengan Proklamasi Kemerdekaan.
3.
Beberapa rumusan dalam
perubahan ketatanegaraan Indonesia selama belum berlaku kembali rumusan
Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.
Masa pengusulan
Dalam sidang Teiku Gikoi (Parlemen Jepang) pada tanggal 7
September 1944, perdana menteri Jepang Jendral Kuniaki Koisi, atas nama
pemerintah Jepang mengeluarkan janji kemerdekaan Indonesia yang akan diberikan
pada tanggal 24 Agustus 1945, sebagai janji politik. Sebagai realisasi janji
ini, pada tanggal 1 Maret 1945 Jepang mengumumkan akan dibentuknya Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Zyunbi
Tyoosakai). Badan ini baru terbentuk pada tanggal 29 April 1945.
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dilantik
pada tanggal 28 Mei 1945 oleh Gunseikan (Kepala Pemerintahan bala tentara
Jepang di Jawa), dengan susunan sebagai berikut Ketua Dr. KRT. Radjiman
Wedyodiningrat, ketua muda Ichibangase Yosio (anggota luar biasa, bangsa
Jepang), Ketua Muda R. Panji Soeroso (merangkap Tata Usaha), sedangkan
anggotanya berjumlah 60 orang tidak termasuk ketua dan ketua muda.
Adanya badan ini memungkinkan bangsa Indonesia dapat
mempersiapkan kemerdekaannya secara legal, untuk merumuskan syarat-syarat apa
yang harus dipenuhi sebagai negara yang merdeka. Oleh karena itu, peristiwa ini
dijadikan sebagai suatu tonggak sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam
mencapai cita-citanya.
Badan penyelidik ini mengadakan sidang hanya dua kali. Sidang
pertama pada tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945, sedangkan sidang kedua
pada tanggal 10 Juli sampai dengan 17 Juli 1945.
Masa
Sidang Pertama BPUPKI
Pada sidang pertama pada tanggal 29 Mei 1945 M. Yamin
mengemukakan usul yang disampaikan dalam pidatonya yang berjudul asas dan dasar
negara Kebangsaan Indonesia di hadapan sidang lengkap BPUPKI. Beliau
mengusulkan dasar negara bagi Indonesia Merdeka yang akan dibentuk meliputi
Peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri Ketuhanan, peri kerakyatan, dan
kesejahteraan rakyat.
Selain usulan dalam bentuk pidato, usulan M. Yamin juga
disampaikan dalam bentuk tertulis tentang lima asas dasar negara dalam
rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang berbeda rumusan
kata-kata dan sistematikanya dengan isi pidatonya. Rumusannya yang tertulis
adalah sebagai berikut :
1.
Ketuhanan Yang Maha
Esa,
2.
Kebangsaan Persatuan
Indonesia,
3.
Rasa Kemanusiaan yang
Adil dan Beradab,
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan,
5.
Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Tangaal 31 Mei 1945 Soepomo mengusulkan perihal yang pada
dasarnya bukan dasar negara merdeka, akan tetapi tentang paham negaranya yaitu
negara yang berpaham integralistik. Soepomo mengusulkan tentang dasar pemikiran
negara nasional bersatu yang akan didirikan harus berdasarkan atas pemikiran
integralistik tersebut yang sesuai dengan struktur sosial Indonesia sebagai
ciptaan budaya bangsa Indonesia yaitu: struktur kerohanian dengan cita-cita
untuk persatuan hidup, persatuan kawulo gusti, persatuan dunia luar dan dunia
batin, antara mikrokosmos dan makrokosmos, antara rakyat dan
pemimpin-pemimpinnya.
Syarat mutlak bagi adanya negara menurut Soepomo adalah adanya
daerah, rakyat, dan pemerintahan. Mengenai dasar dari negara Indonesia yang
akan didirikan, ada tiga persoalan yaitu:
1.
Persatuan negara,
negara serikat, persekutuan negara,
2.
Hubungan antara negara
dan agama,
3.
Republik atau
monarchie.
Pada hari berikutnya, tanggal 1 juni 1945 Ir. Soekarno juga
mengusulkan lima dasar bagi negara Indonesia yang disampaikan melalui pidatonya
mengenai Dasar Indonesia merdeka. Lima dasar itu atas petunjuk seseorang ahli
bahasa yaitu Mr. M. Yamin. Lima dasar yang diajukan Bung Karno ialah Kebangsaan
Indonesia, Internasionalisme atau perikemanusiaa, Mufakat atau demokrasi,
Kesejahteraan sosial, Ketuhanan yang berkebudayaan. Lima rumusan tersebut
menurutnya dapat diringkas menjadi tiga rumusan yang diberi nama Tri-Sila yaitu
dasar pertama, kebangsaan dan perikemanusiaan (nasionalisme dan
internasionalisme) diringkas menjadi satu diberi nama sosio-nasionalisme. Dasar
kedua, demokrasi dan kesejahteraan diringkas menjadi menjadi satu dan biberi
nama sosio-demokrasi. Sedangkan dasar yang ketiga, ketuhanan yang berkebudayaan
yang menghormati satu sama lain disingkat menjadi ketuhanan.
Setelah selesai masa sidang pertama, dengan usulan dasar negara
baik dari M. Yamin dan Soekarno, dan paham negara integralistik dari Soepomo
maka untuk menampung perumusan-perumusan yang bersifat perorangan, dibentuklah
panitia kecil penyelidik usul-usul yang terddiri atas Sembilan orang yang
diketuai oleh Soekarno, yang kemudian disebut dengan panitia Sembilan.
Pada tanggal 22 Juni 1945, Panitia Sembilan berhasil merumuskan
Rancangan pembukaan Hukum Dasar, yang oleh Mr. M. Yamin dinamakan Jakarta Charter
atau Piagam Jakarta. Di dalam rancangan pembukaan alinea keempat terdapat
rumusan Pancasila yang tata urutannya tersusun secara sistematis:
1.
Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2.
Kemanusiaan yang adil
dan beradab
3.
Persatuan Indonesia
4.
Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.
Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia
Selain itu, dalam piagam Jakarta pada alenia ketiga juga memuat
rumusan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang pertama berbunyi “Atas
berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan
luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan
ini menyatakan kemerdekaannya”. Kalimat ini merupakan cetusan hati nurani
bangsa Indonesia yang diungkapkan sebelum Proklamasi kemerdekaan, sehingga
dapat disebut sebagai declaration of Indonesian Independence.
Masa
Sidang Kedua BPUPKI
Masa sidang kedua BPUPKI yaitu pada tanggal 10 Juli sampai
dengan 17 Juli 1945, merupakan masa sidang penentuan perumusan dasar negara
yang akan merdeka sebagai hasil kesepakatan bersama. Anggota BPUPKI dalam masa
sidang kedua ini ditambah enam orang anggota baru. Sidang lengkap BPUPKI pada
tanggal 10 Juli 1945 menerima hasil panitia kecil atau panitia Sembilan yang
disebut dengan piagam Jakarta. Disamping menerima hasil rumusan Panitia
Sembilan dibentuk juga panitia-panitia Hukum Dasar yang dikelompokkan menjadi
tiga kelompok panitia perancang Hukum Dasar yaitu:
1. Panitia Perancang Hukum Dasar diketuai oleh
Ir. Soekarno dengan anggota yang berjumlah 19 orang,
2.
Panitia Pembela Tanah
Air dengan ketua Abikusno Tjokrosujoso beranggotakan 23 orang,
3. Panitia Ekonomi dan Keuangan dengan ketua Moh.
Hatta bersama 23 orang anggota.
Panitia perancang Hukum Dasar kemudian membentuk lagi panitia
kecil. Perancang Hukum Dasar yang dipimpin oleh Soepomo. Panitia-panitia kecil
itu dalam rapatnya tanggal 11 dan 13 Juli 1945 telah menyelesaikan tugasnya
menyusun Rancangan Hukum Dasar. Selanjutnya pada tanggal 14 Juli 1945 sidang
BPUPKI mengesahkan naskah rumusan panitia Sembilan yang dinamakan Piagam
Jakarta sebagai Rancangan Pembukaan Hukum Dasar, dan pada tanggal 16 Juli 1945
menerima seluruh Rancangan Hukum Dasar yang sudah selesai dirumuskan dan di
dalamnya juga memuat Piagam Jakarta sebagai pembukaan.
Hari terakhir sidang BPUPKI tanggal 17 Juli 1945, hanya
merupakan sidang penutupan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia secara resmi. Dengan berakhirnya sidang ini maka selesailah tugas
badan tersebut, yang hasilnya akan dijadikan dasar bagi negara Indonesia yang
akan dibentuk sesuai dengan janji Jepang. Sampai akhir sidang BPUPKI ini
rumusan Pancasila dalam sejarah perumusannya ada empat macam:
1. Rumusan pertama Pancasila adalah usul dari
Muh. Yamin pada tanggal 29 Mei 1945, yaitu usul pribadi dalam bentuk pidato
2. Rumusan kedua Pancasila adalah usul Muh. Yamin
tanggal 29 Mei 1945, yakni usul pribadi dalam bentuk tertulis,
3.
Rumusan ketiga
Pancasila usul bung Karno tanggal 1 Juni 1945, usul pribadi dengan nama
Pancasila,
4.
Rumusan keempat
Pancasila dalam piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, hasil kesepakatan bersama
pertama kali.
Meskipun Pancasila secara formal belum menjadi dasar negara
Indonesia, namun unsur-unsur sila-sila Pancasila yang dimiliki bangsa Indonesia
telah menjadi dorongan perjuangan bangsa Indonesia pada masa silam. Pada saat
proklamasi, semua kekuatan dari berbagai lapisan masyarakat bersatu dan siap
mempertahankan serta mengisi kemerdekaan yang telah diproklamasikan. Oleh
karena itu, dapat dinyatakan bahwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945
adalah revolusi Pancasila.
Sehari setelah Proklamasi kemerdekaan Indonesia, tepatnya
tanggal 18 Agustus 1945, diadakan sidang pleno PPKI untuk membahas Naskah
Rancangan Hukum Dasar yang akan ditetapkan sebagai Undang-Undang Dasar (1945).
Tugas PPKI semula hanya memeriksa hasi sidang BPUPKI, kemudian anggotanya
disempurnakan. Penambahan keanggotaan ini menyempurnakan kedudukan dan fungsi
yang sangat penting sebagai wakil bangsa Indonesia dalam membentuk negara
Republik Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dalam sidang
pertama PPKI tanggal 18 Agustus 1945 berhasil mengesahkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia dengan menetapkan (Kaelan, 1993: 43-45) :
1.
Piagam Jakarta yang
telah diterima sebagai rancangan Mukaddimah Hukum Dasar oleh BPUPKI pada
tanggal 14 Juli 1945 dengan beberapa perubahan, disahkan sebagai Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
2. Rancangan Hukum Dasar yang telah diterima oleh
BPUPKI pada tanggal 16 Juli 1945 setelah mengalami berbagai perubahan, disahkan
sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
3.
Memilih Presiden dan
Wakil Presiden yang pertama, yaitu Ir. Soekarno sebagai Presiden dan Moh. Hatta
sebagai Wakil Presiden.
4. Menetapkan berdirinya Komite Nasional sebagai
Badan Musyawarah darurat.
Dengan disahkan dan ditetapkan Piagam Jakarta sebagai Pembukaan
UUD 1945, maka lima dasar yang diberi nama Pancasila tetap tercantum di
dalamnya. Hanya saja sila Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam
bagi pemeluk-pemeluknya, diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, atas prakarsa
Drs. Moh. Hatta. Rumusan Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai rumusan
kelima dalam sejarah perumusan Pancasila, dan merupakan rumusan pertama yang
diakui sebagai dasar filsafat negara secara formal.
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia merupakan suatu asas
kerohanian yang meliputi suasana kebatinan atau cita-cita hukum, sehingga
merupakan suatu sumber nilai, norma serta kaidah baik moral maupun hukum
negara, dan menguasai hukum dasar baik yang tertulis atau UUD, maupun yang
tidak tertulis atau konvensi. Oleh karena itu, kedudukan Pancasila sebagai dasar
negara ini memiliki kekuatan yang mengikat secara hukum. Seluruh bangsa
Indonesia tak terkecuali dengan demikian wajib mengamalkan Pancasila dalam
kehidupan sehari-hari.
Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum Indonesia, ia
tercantum dalam ketentuan tertinggi yaitu Pembukaan UUD 1945 yang diwujudkan
lebih lanjut di dalam pokok pikiran, yang meliputi suasana kebatinan dari UUD
1945, yang pada akhirnya dikonkrietisasikan dalam pasal-pasal UUD 1945 maupun
dalam hukum positif lainnya. Konsekuensi kedudukan Pancasila sebagai dasar
negara ini lebih lanjut dapat dirinci sebagai berikut: Pertama; Pancasila
sebagai dasar negara merupakan sumber dari segala sumber hukum atau sumber
tertib hukum Indonesia. Kedua; Pancasila sebagai dasar negara
meliputi suasana kebatinan dari UUD 1945.Ketiga; Pancasila sebagai
dasar negara mewujudkan cita-cita hukum bagi hukum dasar negara Indonesia. Keempat; Pancasila
sebagai dasar negara mengandung norma yang mengharuskan UUD mengandung isi yang
mewajibkan pemerintah maupun para penyelenggara negara untuk memelihara budi
pekerti yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.
B. Pancasila
Era Kemerdekaan
Dalam perjalanan kehidupan bangsa Indonesia
pasca kemerdekaan, Pancasila mengalami banyak perkembangan. Sesaat setelah
kemerdekaan Indonesia pada 1945, Pancasila melewati masa-masa percobaan
demokrasi. Pada waktu itu, Indonesia masuk ke dalam era percobaan demokrasi
multi-partai dengan sistem kabinet parlementer. Partai-partai politik pada masa
itu tumbuh sangat subur, dan proses politik yang ada cenderung selalu berhasil
dalam mengusung kelima sila sebagai dasar negara (Somantri, 2006). Pancasila
pada masa ini mengalami masa kejayaannya. Selanjutnya, pada akhir tahun 1959,
Pancasila melewati masa kelamnya dimana Presiden Soekarno menerapkan sistem
demokrasi terpimpin. Pada masa itu, presiden dalam rangka tetap memegang
kendali politik terhadap berbagai kekuatan mencoba untuk memerankan politik
integrasi paternalistik (Somantri, 2006). Pada akhirnya, sistem ini seakan
mengkhianati nilai-nilai yang ada dalam Pancasila itu sendiri, salah satunya
adalah sila permusyawaratan. Kemudian, pada 1965 terjadi sebuah peristiwa
bersejarah di Indonesia dimana partai komunis berusaha melakukan pemberontakan.
Pada 11 Maret 1965, Presiden Soekarno memberikan wewenang kepada Jenderal
Suharto atas Indonesia. Ini merupakan era awal orde baru dimana kemudian
Pancasila mengalami mistifikasi. Pancasila pada masa itu menjadi kaku dan
mutlak pemaknaannya. Pancasila pada masa pemerintahan presiden Soeharto kemudia
menjadi core-values (Somantri, 2006), yang pada akhirnya
kembali menodai nilai-nilai dasar yang sesungguhnya terkandung dalam Pancasila
itu sendiri. Pada 1998, pemerintahan presiden Suharto berakhir dan Pancasila
kemudian masuk ke dalam era baru yaitu era demokrasi, hingga hari ini.
C. Pancasila
Era Orde Lama
Kedudukan
pancasila sebagai idiologi Negara dan falsafah bangsa yang pernah dikeramatkan
dengan sebutan azimat revolusi bangsa, pudar untuk pertama kalinya pada akhir
dua dasa warsa setelah proklamasi kemerdekaan. Meredupnya sinar api
pancasila sebagai tuntunan hidup berbangsa dan bernegara bagi jutaan orang
diawali oleh kahendak seorang kepala pemerintahan yang terlalu gandrung pada
persatuan dan kesatuan. Kegandrungan tersebut diwujudkan dalam bentuk membangun
kekuasaan yang terpusat, agar dapat menjadi pemimpin bangsa yang dapat
menyelesaikan sebuah revolusi perjuangan melawan penjajah (nekolim,
neokolonialisme) serta ikut menata dunia agar bebas dari penghisapan bangsa
atas bangsa dan penghisapan manusia dengan manusia.
Orde lama berlangsung dari tahun 1959-1966. Pada masa itu
berlaku demokrasi terpimpin. Setelah menetapkan berlakunya kembali UUD 1945,
Presiden Soekarno meletakkan dasar kepemimpinannya. Yang dinamakan demokrasi
terimpin yaitu demokrasi khas Indonesia yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Demokrasi terpimpin dalam
prakteknya tidak sesuai dengan makna yang terkandung didalamnya dan bahkan
terkenal menyimpang. Dimana demokrasi dipimpin oleh kepentingan-kepentingan
tertetu.
Pada masa pemerintahan Orde Lama, kehidupan
politik dan pemerintah sering terjadi penyimpangan yang dilakukan Presiden dan
juga MPRS yang bertentangan dengan pancasila dan UUD 1945. Artinya pelaksanaan
UUD1945 pada masa itu belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal ini terjadi
karena penyelenggaraan pemerintahan terpusat pada kekuasaan seorang presiden
dan lemahnya control yang seharusnya dilakukan DPR terhadap
kebijakan-kebijakan.
Selain itu, muncul pertentangan politik
dan konflik lainnya yang berkepanjangan sehingga situasi politik, keamanaan dan
kehidupan ekonomi makin memburuk puncak dari situasi tersebut adalah munculnya
pemberontakan G30S/PKI yang sangat membahayakan keselamatan bangsa dan Negara.
Mengingat
keadaan makin membahayakan Ir. Soekarno selaku presiden RI memberikan perintah
kepada Letjen Soeharto melalui Surat Perintah 11 Maret 1969 (Supersemar) untuk
mengambil segala tindakan yang diperlukan bagi terjaminnya keamanaan,
ketertiban dan ketenangan serta kesetabilan jalannya pemerintah. Lahirnya
Supersemar tersebut dianggap sebagai awal masa orde baru.
D. Pancasila
Era Orde Baru
Era Orde Baru dalam sejarah republik ini
merupakan masa pemerintahan yang terlama, dan bisa juga dikatakan sebagai masa
pemerintahan yang paling stabil. Stabil dalam artian tidak banyak gejolak yang
mengemuka, layaknya keadaan dewasa ini. Stabilitas yang diiringi dengan
maraknya pembangunan di segala bidang. Era pembangunan, era penuh kestabilan,
menimbulkan romantisme dari banyak kalangan.
Diera
Orde Baru, yakni stabilitas dan pembangunan, serta merta tidak lepas dari
keberadaan Pancasila. Pancasila menjadi alat bagi pemerintah untuk semakin
menancapkan kekuasaan di Indonesia. Pancasila begitu diagung-agungkan;
Pancasila begitu gencar ditanamkan nilai dan hakikatnya kepada rakyat; dan
rakyat tidak memandang hal tersebut sebagai sesuatu yang mengganjal.
Menurut Hendro Muhaimin bahwa Pemerintah di era Orde Baru
sendiri terkesan “menunggangi” Pancasila, karena dianggap menggunakan dasar
negara sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan. Disamping hal tersebut,
penanaman nilai-nilai Pancasila di era Orde Baru juga dibarengi dengan praktik
dalam kehidupan sosial rakyat Indonesia. Kepedulian antarwarga sangat
kental, toleransi di kalangan masyarakat cukup baik, dan budaya gotong-royong
sangat dijunjung tinggi. Selain penanaman nilai-nilai tersebut dapat dilihat
dari penggunaan Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan berorganisasi,
yang menyatakan bahwa semua organisasi, apapun bentuknya, baik itu organisasi
masyarakat, komunitas, perkumpulan, dan sebagainya haruslah mengunakan Pancasila
sebagai asas utamanya.
Romantisme Pelaksanaan P4
Romantisme Pelaksanaan P4
Di
era Orde Baru, terdapat kebijakan Pemerintah terkait penanaman nilai-nilai
Pancasila, yaitu Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Materi
penataran P4 bukan hanya Pancasila, terdapat juga materi lain seperti UUD 1945,
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), Wawasan Nusantara, dan materi lain yang
berkaitan dengan kebangsaan, nasionalisme dan patriotisme. Kebijakan tersebut
disosialisaikan pada seluruh komponen bangsa sampai level bawah termasuk
penataran P4 untuk siswa baru Sekolah Dasar (SD) sampai dengan Sekolah Menengah
Atas (SMA), yang lalu dilanjutkan di perguruan tinggi hingga di wilayah kerja.
Pelaksanaannya dilakukan secara menyeluruh melalui Badan Penyelenggara
Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) dengan metode
indoktrinasi.
Visi
Orde Baru pada saat itu adalah untuk mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat,
bangsa, dan negara yang melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen.
Sejalan
dengan semakin dominannya kekuatan negara, nasib Pancasila dan UUD 1945 menjadi
semacam senjata bagi pemerintahan Orde Baru dalam hal mengontrol perilaku
masyarakat. Seakan-akan ukurannya hanya satu: sesuatu dianggap benar kalau hal
tersebut sesuai dengan keinginan penguasa, sebaliknya dianggap salah kalau
bertentangan dengan kehendaknya. Sikap politik masyarakat yang kritis dan
berbeda pendapat dengan negara dalam prakteknya malah dengan mudahnya dikriminalisasi.
Penanaman nilai-nilai Pancasila pada saat itu dilakukan tanpa
sejalan dengan fakta yang terjadi di masyarakat, berdasarkan perbuatan
pemerintah. Akibatnya, bukan nilai-nilai Pancasila yang meresap ke dalam
kehidupan masyarakat, tetapi kemunafikan yang tumbuh subur dalam masyarakat.
Sebab setiap ungkapan para pemimpin mengenai nilai-nilai kehidupan tidak
disertai dengan keteladanan serta tindakan yang nyata, sehingga banyak
masyarakat pun tidak menerima adanya penataran yang tidak dibarengi dengan perbuatan
pemerintah yang benar-benar pro-rakyat.
Pancasila yang Begitu Diagung – Agungkan
Pancasila yang Begitu Diagung – Agungkan
Pada era Orde Baru sebagai era “dimanis-maniskannya” Pancasila.
Secara pribadi, Soeharto sendiri seringkali menyatakan pendapatnya mengenai
keberadaan Pancasila, yang kesemuanya memberikan penilaian setinggi-tingginya
terhadap Pancasila. Ketika Soeharto memberikan pidato dalam Peringatan Hari
Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1967. Soeharto mendeklarasikan Pancasila sebagai
suatu force yang dikemas dalam berbagai frase bernada angkuh,
elegan, begitu superior. Dalam pidato tersebut, Soeharto menyatakan Pancasila
sebagai “tuntunan hidup”, menjadi “sumber tertib sosial” dan “sumber tertib
seluruh perikehidupan”, serta merupakan “sumber tertib negara” dan “sumber
tertib hukum”. Kepada pemuda Indonesia dalam Kongres Pemuda tanggal 28 Oktober
1974, Soeharto menyatakan, “Pancasila janganlah hendaknya hanya dimiliki, akan
tetapi harus dipahami dan dihayati!” Dapat dikatakan tidak ada yang lebih kuat
maknanya selain Pancasila di Indonesia, pada saat itu, dan dalam era Orde Baru.
Demokrasi Pancasila : Wajah Semu Era Orde Baru
Demokrasi Pancasila : Wajah Semu Era Orde Baru
Di dalam P4, melalui Ketetapan MPR (TAP MPR) No. II/MPR/1978
(sudah dicabut), adalah 36 butir Pancasila sebagai ciri-ciri manusia
Pancasilais. Pemerintah Orde Baru mengharapkan melalui 36 butir Pancasila, yang
serta merta “wajib hukumnya” untuk dihafal, akan terbentuk suatu tatanan rakyat
Indonesia yang mempraktikkan kesemuanya dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, lalu terciptalah negara Indonesia yang adil dan makmur, di segala
bidang. Akan tetapi, justru penghafalan itu yang menjadi bumerangnya. Cita-cita
yang terkembang melalui P4 hanya keluar dari mulut saja, tanpa ada pengamalan
yang berarti untuk setiap butir yang terkandung di dalamnya, meskipun tidak terjadi
secara general.
E. Pancasila
Era Reformasi
Memahami peran Pancasila di era reformasi,
khususnya dalam konteks sebagai dasar negara dan ideologi nasional, merupakan
tuntutan hakiki agar setiap warga negara Indonesia memiliki pemahaman yang sama
dan akhirnya memiliki persepsi dan sikap yang sama terhadap kedudukan, peranan
dan fungsi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pancasila sebagai paradigma ketatanegaraan
artinya pancasila menjadi kerangka berpikir atau pola berpikir bangsa
Indonesia, khususnya sebagai dasar negara ia sebagai landasan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Sebagai negara hukum, setiap perbuatan baik dari warga
masyarakat maupun dari pejabat-pejabat harus berdasarkan hukum, baik yang
tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam kaitannya dalam pengembangan hukum,
Pancasila harus menjadi landasannya. Artinya hukum yang akan dibentuk tidak
dapat dan tidak boleh bertentangan dengan sila-sila Pancasila. Substansi produk
hukumnya tidak bertentangan dengan sila-sila pancasila.
Pancasila sebagai paradigma pembangunan bidang
sosial politik mengandung arti bahwa nilai-nilai Pancasila sebagai wujud
cita-cita Indonesia merdeka di implementasikan sebagai berikut :
1. Penerapan dan pelaksanaan keadilaan sosial mencakup keadilan politik,
agama, dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari.
agama, dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari.
2. Melaksanakan keadilaan sosial dan penentuan prioritas
kerakyatan
berdasarkan konsep mempertahankan kesatuan.
berdasarkan konsep mempertahankan kesatuan.
3. Dalam pelaksanaan pencapaian tujuan keadilan menggunakan
pendekatan
kemanusiaan yang adil dan beradab.
4. Nilai-nilai keadilan, kejujuran, dan toleransi bersumber pada nilai
ketuhanan yang maha esa.
kemanusiaan yang adil dan beradab.
4. Nilai-nilai keadilan, kejujuran, dan toleransi bersumber pada nilai
ketuhanan yang maha esa.
Pancasila sebagai paradigma nasional bidang ekonomi mengandung pengertian
bagaimana suatu falsafah itu diimplementasikan secara riil dan sistematis dalam
kehidupan nyata.
Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional bidang
kebudayaan mengandung pengertian bahwa Pancasila adalah etos budaya persatuan,
dimana pembangunan kebudayaan sebagai sarana pengikat persatuan dalam
masyarakat majemuk. Oleh karena itu smeboyan Bhinneka Tunggal Ika dan
pelaksanaan UUD 1945 yang menyangkut pembangunan kebudayaan bangsa hendaknya
menjadi prioritas, karena kebudayaan nasional sangat diperlukan sebagai
landasan media sosial yang memperkuat persatuan. Dalam hal ini bahasa Indonesia
adalah sebagai bahasa persatuan.
Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Hankam,
maka paradigma baru TNI terus diaktualisasikan untuk menegaskan, bahwa TNI
telah meninggalkan peran sosial politiknya atau mengakhiri dwifungsinya dan
menempatkan dirinya sebagai bagian dari sistem nasional. Pancasila sebagai
Paradigma Ilmu Pengetahuan, dengan memasuki kawasan filsafat ilmu (philosophy
of science) ilmu pengetahuan yang diletakkan diatas pancasila sebagai
paradigmanya perlu difahami dasar dan arah penerapannya, yaitu pada aspek
ontologis, epistomologis, dan aksiologis. Ontologis, yaitu bahwa
hakikat ilmu pengetahuan aktivitas manusia yang tidak mengenal titik henti
dalam upayanya untuk mencari dan menemukan kebenaran dan kenyataan. Ilmu
pengetahuan harus dipandang secara utuh, dalam dimensinya sebagai proses
menggambarkan suatu aktivitas warga masyarakat ilmiah yang melalui abstraksi,
spekulasi, imajinasi, refleksi, observasi, eksperimentasi, komparasi dan
eksplorasi mencari dan menemukan kebenaran dan kenyataan. Sebagai produk,
adanya hasil yang diperoleh melalui proses, yang berwujud karya-karya ilmiah
beserta aplikasinya yang berwujud fisik ataupun non fisik. Epistimologi,
yaitu bahwa Pancasila dengan nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijadikan
metode berpikir, dalam arti dijadikan dasar dan arah didalam pengembangan ilmu
pengetahuan yang parameter kebenaran serta kemanfaatan hasil-hasil yang
dicapainya adalah nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila itu sendiri.Aksilogis,
yaitu bahwa dengan menggunakan epistemologi tersebut diatas, pemanfaatan dan
efek pengembangan ilmu pengetahuan secara negatif tidak bertentangan dengan
Pancasila dan secara positif mendukung atau mewujudkan nilai-nilai ideal Pancasila.
Memahami peran Pancasila di era reformasi, khususnya dalam
konteks sebagai dasar negara dan ideologi nasional, merupakan tuntutan hakiki
agar setiap warga negara Indonesia memiliki pemahaman yang sama dan akhirnya
memiliki persepsi dan sikap yang sama terhadap kedudukan, peranan dan fungsi
Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Semenjak
ditetapkan sebagai dasar negara (oleh PPKI 18 Agustus 1945), Pancasila telah
mengalami perkembangan sesuai dengan pasang naiknya sejarah bangsa Indonesia
(Koento Wibisono, 2001) memberikan tahapan perkembangan Pancasila sebagai dasar
negara dalam tiga tahap yaitu :
1. Tahap 1945 – 1968 Sebagai Tahap Politis
Dimana orientasi pengembangan Pancasila diarahkan kepada Nation
and Character Building. Hal ini sebagai perwujudan keinginan bangsa Indonesia
untuk survival dari berbagai tantangan yang muncul baik dalam maupun luar
negeri, sehingga atmosfir politik sebagai panglima sangat dominan. Pancasila
sebagai Dasar Negara misalnya menurut Notonagoro dan Driarkara. Kedua ilmuwan
tersebut menyatakan bahwa Pancasila mampu dijadikan pangkal sudut pandang dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan dan bahkan Pancasila merupakan suatu paham atau
aliran filsafat Indonesia, dan ditegaskan bahwa Pancasila merupakan rumusan
ilmiah filsafati tentang manusia dan realitas, sehingga Pancasila tidak lagi
dijadikan alternatif melainkan menjadi suatu imperatif dan suatu philosophical
concensus dengan komitmen transenden sebagai tali pengikat kesatuan dan
persatuan dalam menyongsong kehidupan masa depan bangsa yang Bhinneka Tunggal
Ika. Bahkan Notonagoro menyatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 merupakan
staatfundamental Norm yang tidak dapat diubah secara hukum oleh siapapun.
Sebagai akibat dari keberhasilan mengatasi berbagai tantangan baik dari dalam
maupun dari luar negeri, masa ini ditandai oleh kebijakan nasional yaitu
menempatkan Pancasila sebagai asas tunggal.
2. Tahap 1969 – 1994 Sebagai Tahap Pembangunan
Ekonomi
Yaitu upaya mengisi kemerdekaan melalui program-program ekonomi.
Orientasi pengembangan Pancasila diarahkan pada bidang ekonomi, akibatnya
cenderung menjadikan ekonomi sebagai ideologi. Pada tahap ini pembangunan
ekonomi menunjukkan keberhasilan secara spektakuler, walaupun bersamaan dengan
itu muncul gejala ketidakmerataan dalam pembagian hasil pembangunan.
Kesenjangan sosial merupakan fenomena yang dilematis dengan program penataran
P4 yang selama itu dilaksanakan oleh pemerintah. keadaan ini semakin
memprihatinkan setelah terjadinya gejala KKN dan Kronisme yang bertentangan
dengan nilai-nilai Pancasila. Bersamaan dengan itu perkembangan perpolitikan
dunia, setelah hancurnya negara-negara komunis, lahirnya tiga raksasa
kapitalisme dunia yaitu Amerika Serikat, Eropa dan Jepang. Oleh karena itu
Pancasila sebagai dasar negara tidak hanya dihantui oleh supersifnya komunisme
melainkan juga harus berhadapan dengan gelombang aneksasinya kapitalisme,
disamping menhadapi tantangan baru yaitu KKN dan kronisme.
3. Tahap 1995 – 2020 Sebagai Tahap Repositioning
Pancasila
Dunia masa kini sedang dihadapi kepada gelombang perubahan
secara cepat, mendasar, spektakuler, sebagai implikasi arus globalisasi yang
melanda seluruh penjuru dunia, khususnya di abad XXI sekarang ini, bersamaan
arus reformasi yang sedang dilakukan oleh bangsa Indonesia. Reformasi telah
merombak semua segi kehidupan secara mendasar, maka semakin terasa orgensinya
untuk menjadi Pancasila sebagai dasar negara dalam kerangka mempertahankan
jatidiri bangsa dan persatuan dan kesatuan nasional, lebih-lebih kehidupan
perpolitikan nasional yang tidak menentu di era reformasi ini. Berdasarkan hal
tersebut diatas perlunya reposisi Pancasila yaitu reposisi Pancasila sebagai
dasar negara yang mengandung makna Pancasila harus diletakkan dalam keutuhannya
dengan Pembukaan UUD 1945, dieksplorasikan pada dimensi-dimensi yang melekat
padanya.
Realitasnya
bahwa nilai-nilai yang terkandung didalamnya dikonkritisasikan sebagai ceminan
kondisi obyektif yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, suatu rangkaian
nilai-nilai yang bersifat “sein im sollen dan sollen im sein”.
Idealitasnya
bahwa idealisme yang terkandung didalamnya bukanlah sekedar utopi tanpa makna,
melainkan diobyektifitasikan sebagai akta kerja untuk membangkitkan gairah dan
optimisme para warga masyarakat guna melihat hari depan secara prospektif.
Fleksibilitasnya
dalam arti bahwa Pancasila bukanlah barang jadi yang sudah selesai dan dalam
kebekuan dogmatis dan normatif, melainkan terbuka bagi tafsi-tafsir baru untuk
memenuhi kebutuhan zaman yang terus menerus berkembang, dengan demikian tanpa
kehilangan nilai hakikinya Pancasila menjadi tetap aktual, relevan serta
fungsional sebagai penyangga bagi kehidupan bangsa dan negara.
Di
era reformasi ini, Pancasila seakan tidak memiliki kekuatan mempengaruhi dan
menuntun masyarakat. Pancasila tidak lagi populer seperti pada masa lalu. Elit
politik dan masyarakat terkesan masa bodoh dalam melakukan implementasi
nilai-nilai pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila memang
sedang kehilangan legitimasi, rujukan dan elan vitalnya. Sebab utamannya karena
rejim Orde Lama dan Orde Baru menempatkan Pancasila sebagai alat kekuasaan yang
otoriter. Terlepas dari kelemahan masa lalu, sebagai konsensus dasar dari
berdirinya bangsa ini, yang diperlukan dalam konteks era reformasi adalah
pendekatan-pendekatan yang lebih konseptual, komprehensif, konsisten,
integratif, sederhana dan relevan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
II.
Pancasila
Sebagai Filsafat
Pancasila
selain ditetapkan sebagai dasar Negara, juga sebagai pandangan hidup, landasan
ideology dan sebagai falsafah atau filsafat bangsa.
Sebenarnya
Bangsa Indonesia sudah ada sejak zaman Sriwijaya dan zaman Majapahit dalam satu
kesatuan. Namun, dengan datangnya bangsa-bangsa barat persatuan dan
kesatuan itu dipecah oleh mereka dalam rangka menguasai daerah Indonesia yang
kaya raya ini. Berkat perjuangan yang gigih dari seluruh rakyat Indonesia
pada zaman penjajahan Jepang dibentuk suatu badan yang diberi nama BPUPKI.
Badan ini diresmikan tanggal 28 Mei 1945 oleh pemerintah Jepang. Tanggal 29 Mei
1945 Mr. Muhammad Yamin mengutarakan prinsip dasar negara yang sekaligus
sesudah berpidato menyerahkan teks pidatonya beserta rancangan undang-undang
dasar.
Pada
tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno berpidato membahas dasar negara. Dan
pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan undang-undang dasar yang diberi nama
Undang-Undang Dasar 1945. Sekaligus dalam pembukaan Undang-Undang Dasar
sila-sila Pancasila ditetapkan. Jadi, Pancasila sebagai filsafat bangsa
Indonesia ditetapkan bersamaan dengan ditetapkannya Undang-Undang Dasar 1945,
dan menjadi ideologi bangsa Indonesia. Arti Pancasila sebagai dasar filsafat
negara adalah sama dan mutlak bagi seluruh tumpah darah Indonesia. Tidak ada
tempat bagi warga negara Indonesia yang pro dan kontra, karena Pancasila sudah
ditetapkan sebagai filsafat bangsa Indonesia.
Filsafat
Pancasila mampu memberikan dan mencari kebenaran yang substansi tentang hakikat
negara, ide negara, dan tujuan negara. Dasar Negara kita ada lima dasar dimana
setaip silanya berkaitan dengan sila yang lain dan merupakan satu kesatuan yang
utuh, tidak terbagi dan tidak terpisahkan. Saling memberikan arah dan sebagai
dasar kepada sila yang lainnya. Tujuan negara akan selalu kita temukan dalam
setiap konstitusi negara bersangkutan. Karenanya tidak selalu sama dan bahkan
ada kecenderungan perbedaan yang jauh sekali antara tujuan disatu negara dengan
negara lain. Bagi Indonesia secara fundamental tujuan itu ialah Pancasila dan
sekaligus menjadi dasar berdirinya negara ini.
Pancasila
sebagi filsafat bangsa harus mampu menjadi perangkat dan pemersatu dari
berbagai ilmu yang dikembangkan di Indonesia. Fungsi filsafat akan terlihaat
jelas, kalau di negara itu sudah berjalan keteraturan kehidupan bernegara.
Pancasila merupakan suatu sistem filsafat.
Dalam sistem itu masing-masing silanya saling kait mengkait merupakan satu
kesatuan yang menyeluruh. Di dalam Pancasila tercakup filsafat hidup dan
cita-cita luhur bangsa Indonesia tentang hubunagan manusia dengan Tuhan,
hubungan manusia dengan sesame manusia, hubungan manusia dengan lingkungannya.
Menurut Driyakarya, Pancasila memperoleh dasarnya pada eksistensi manusia
sebagai manusia, lepas dari keadaan hidupnya yang tertentu. Pancasila merupakan
filsafat tentang kodrat manusia. Dalam pancasila tersimpul hal-hal yang asasi
tentang manusia. Oleh karena itu pokok-pokok Pancasila bersifat universal.
Pandangan Integralistik Dalam Filsafat Pancasila
Secara lebih lanjut dapat dikemukakan pula bahwa dasar
filsafat bangsa Indonesia bersifat majemuk tunggal (monopluralis), yang
merupakan persatuan dan kesatuan dari sila-silanya. Akan tetapi bukan manusia
yang menjadi dasar persatuan dan kesatuan dari sila-sila Pancasila itu,
melainkan dasar persatuan dan kesatuan itu terletak pada hakikat manusia.
Secara hakiki, susunan kodrat manusia terdiri atas jiwa dan badan, sifat
kodratnya adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, dan
kedudukan kodratnya adalah sebagai makhluk Tuhan dan makhluk yang berdiri
sendiri (otonom). Aspek-aspek hakikat kodrat manusia itu dalam realitasnya
saling berhubungan erat, saling brkaitan, yang satu tidak dapat dipisahkan dari
yang lain. Jadi bersifat monopluralis, dan hakiikat manusia yang monopluralis
itulah yang menjadi dasar persatuan dan kesatuan sila-sila Pancasila yang
merupakan dasar filsafat Negara Indonesia.
Pancasila yang bulat dan utuh yang bersifat majemuk tunggal
itu menjadi dasar hidup bersama bangsa Indonesia yang bersifat majemuk tunggal
pula. Dalam kenyataannya, bangsa Indonesia itu terdiri dari berbagai suku
bangsa, adat istiadat, kebudayaan dan agama yang berbeda. Dan
diantara perbedaan yang ada sebenarnya juga terdapat kesamaan. Secara hakiki,
bangsa Indonesia yang memiliki perbedaan-perbedaan itu juga memiliki
kesamaan,.bangsa Indonesia berasal dari keturunan nenek moyang yang sama, jadi
dapat dikatakan memiliki kesatuan darah. Dapat diungkapkan pula bahwa
bangsa Indonesia yang memilikiperbedaan itu juga mempunyai kesamaan sejarah dan
nasib kehidupan.
Secara
bersama bangsa Indonesia pernah dijajah, berjuang melawan penjajahan, merdeka
dari penjajahan. Dan yang lebih penting lagi adalah bahwa setelah merdek,
bangsa Indonesia mempunyai kesamaan tekad yaitu mengurus kepentingannya sendiri
dalam bentuk Negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Kesadaran akan perbedaan dan kesamaan inilah yang menumbuhkan niat, kehendak
(karsa dan Wollen) untuk selalu menuju kepada persatuan dan kesatuan bangsa
atau yang lebih dikenal dengan wawasan “ bhineka tunggal ika “.
Pernyataan
lebih lanjut adalah bagaimana bangsa Indonesia melaksanakan kehidupan bersama
berlandaskan kepada dasar filsafat Pancasila sebagai asas persatuan dan
kesatuan sebagai perwujudan hakikat kodrat manusia. Pada saat mendirikan Negara
Indonesia, para pendiri sepakat untuk mendirikan Negara Indonesia yang sesuai
dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia,yaitu Negara yang
berdasar atas aliran pikiran Negara (staatsidee) negara yang integralistik,
negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan
dalam bidang apapun.
Jadi
negara sebagai susunan dari seluruh masyarakat dimana segala golongan, segala
bagian dan seluruh anggotanya berhubungan erat satu dengan lainnya dan
merupakan persatuan dan kesatuan yang organis. Kepentingan individu dan
kepentingan bersama harus diserasikan dan diseimbangkan antara satu dengan
lainnya. Hidup kenegaraan diatur dalam prinsip solidaritas, menuntut bahwa
kebersamaan dan individu tidak dapat dipertentangkan satu dengan lainnya.
Negara harus dipandang sebagai institusi seluruh rakyat yang memberi tempat
bagi semua golongan dan lapisan masyarakat dalam bidang apapun.
Sebaliknya
negara juga bertanggung jawab atas kemerdekaan dan kesejahteraan semua warga
negara. Tujuan Negara adalah kesejahteraan umum. Oleh karena itu negara tidak
mempersatukan diri dengan golongan terbesar, juga tidak mempersatukan
diri dengan golongan yang paling kuat, melainkan Negara mengusahakan tujuannya
dengan memperhatikan semua golongan dan semua perseorangan. Negara
mempersatukan diri dengan seluruh lapisan masyarakat.
III.
Tugas Masa Depan
Bagi Mahasiswa
Mahasiswa sebagai elemen
utama penerus bangsa tentunya merupakankesatuan yang sangat penting untuk
memajukan dan menjalankan kehidupan bangsa di masa mendatang.
Mahasiswa sangat dikenal dengan pemikirannya yangsangat kritis, demokratis
dan konstruktif. Suara suara mahasiswa biasanyadianggap sebagai realita social
yang ada dilingkungan masyarakat sehingga sangat pantas jika mahasiswa dianggap
sebagai roda penggerak bangsa. Namun terdapat istilah “mahasiswa
menara gading” adalah sebutan untuk mahasiswa yang hanya berada di dalam kampus saja tanpa mereka turun ke lapangan untuk melihatrealitas
kehidupan yang sebenarnya terjadi di masayarakat. Mahasiswa menaragading tak
lain beda dengan mahasiswa apatis yang mereka hanya sibuk belajartanpa
merasakan hal-hal lain diluar teori yang mereka terima di dalam kampusatau
bahkan sama sekali tidak peduli dengan kehidupan di luar sana.
Berikut peran strategis dari mahasiswa :
1.
Sebagai
penyampai kebenaran
Walaupun negri ini diselimuti oleh berbagai permasalahan bangsa
yang sangat kompleks, mahasiswa selalu berada di jalur terdepan untuk
menyampaikankebenaran atau realita yang sesungguhnya terjadi, walau banyak
pihak pihak yang berkepentingan menekan pergerakan mahasiswa tetapi tidak
pernah berhenti untuk menyampaikan kebenaran yang ada.
2.
Sebagai agen perubahan (agent of change)
Agent of change merupakan bentuk kesadaran, tanggung jawab, kepedulian,kepekaan
untuk memajukan, memperbaiki, meningkatkan kualitas, memenuhiharapan dan
sebagainya. Semuanya bertujuan untuk perbaikan dan berbuatkebaikan. Jelas bukan
mengekor, tetapi suatu ketulusan, keberanian untukmengajarkan dan mengajak
berbuat untuk yang positif. Juga kerelaan untuk berani berkorban dan dikorbankan. Agen perobahan bisa saja justru dimusihi, dianggapsok
tahu, sok bersih, sok modern, melanggar aturan dan ketentuan yang sudah
ada.Bisa saja akan dabel buruk bahkan dikembangkan menjadi kebencian.Pada masa
sekarang ini perubahan begitu cepat dan dinamis. Bagi yang tidakmampu mengikuti
mungkin akan ditinggalkan. Kalau sejajar dan seimbangdengan perubahan maka akan
terengah-engah mengikuti perubahan. Tetapi kalaumampu lebih maju dari perubahan
maka akan mampu memimpin perubahan.Melakukan perubahan bukan sekedar merubah
tanpa tahu esensi perubahan.
Melakukan suatu perubahan itu berarti :
a. Mampu belajar memperbaiki dari masa lalu. Yang
berarti mampu menangkapdan memberdayakan potensi-potensi yang ada, menjadikan
tantangan dankelemahan menjadi suatu peluang atau harapan untuk dapat hidup
tumbuh dan berkembang.
b. Siap menghadapi dan memenuhi harapan dan
tuntutan masa kini yang modern,dinamis, cepat, tepat, akurat, transparan,
akuntabel dan informatif.
c. Mampu menyiapkan untuk masa yang akan datang
menjadi lebih:
sempurna, baik, maju, modern, dinamis, cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabeldaninformatif.Menjadi
agen Peruban adalah jiwa yang sadar, peka, peduli danmempunyai mimpi ke depan
untuk membawa kemajuan. Tidak mudahimplementasinya. Selain menghadapi
kelompok-kelompok status quo, kelompok-kelompok yang resistan terhadap
perubahan juga akan menghadang dan berusahamenentang suatu perubahan karena
merasa previlagenya tergangganggu.
Hal ini tentu sangat terlihat jika kita kembali ke tahun 1998,
dimana terjadidemonstrasi mahasiswa yang menuntut perubahan system
pemerintahanIndonesia yang dirasa sudah tidak tepat lagi untuk dilanjutkan,
dengan usahamahasiswa ini akhirnya kitapun bias masuk kedalam era roformasi
yang sudahdinanti sebelumnya.
3. Sebagai generasi penerus
masa depan (iron stock)
Dengan intelektualitasnya yang mumpuni dan softskill yang cukup
makasudah tidak diragukan lagi mahasiswa diformulasikan untuk
melanjutkangenerasi penerus bangsa ini.
4. Moral Force
Mahasiswa harus punya moral yang baik agar bisa
merubah bangsa ke arahlebih baik. Apalagi seperti kondisi bangsa saat ini yang
selalu dibayangi kasuskorupsi. Mahasiswa sebagai generasi penerus diharapkan
memiliki akhlak terpuji dan moral yang baik dengan harapan ketika mereka
menempati posisi pemerintahan, hal yang tidak diinginkan seperti kasus korupsi dan hal-halyang
menyimpang lainnya bisa dihapuskan. Mereka dituntut untuk memberikan teladan
yang baik demi perubahan bangsa. Moral Foce inilahyang akan menumbuhkan jiwa
leadership dalam benak mahasiswa. Tentunya dengan jiwa leadership ini akan
menjadikan mahasiswa sebagai teladan yang bijak.
0 komentar:
Posting Komentar