Minggu, 31 Januari 2016

Dinasti Umayyah

Diposting oleh Unknown di 1/31/2016 08:00:00 PM
(Kilas Pintas Pendirian, Para Khalifah, dan Keruntuhannya)
1.      Bermula Dari Perang Shiffin
11 Shafar tahun 37 H, berlangsung peperangan antara kaum muslimin. Pendukung Ali bin Thalib ra. versus Mu’aiwyah. Perang berlangsung beberapa hari dan tanda-tanda kemenangan mulai condong ke pihak Ali. Ketika kemenangan di depan mata kelompok Ali, tiba-tiba pihak Muawiyah menggunakan taktik tahkim. Akhirnya dipilihlah Musa al-As’ariy dari pihak Ali dan Amr bin Ash dari pihak Muawiyah untuk melakukan perundingan pada bulan Sya’ban 37 di Dumat al-Jandal.
Hasil perundingan ini memberikan kebebasan penuh kepada rakyat untuk memilih siapa yang memimpin mereka. Begitu Musa al-As’ariy berikrar melepaskan kepemimpinan Ali dan Muawiyah, Amr bin Ash tampil dan malah mengokohkan kepemimpinan Mu’ayiwah. Kecurangan pihak Mu’awiyah ini memperburuk posisi ‘Ali. Ditambah lagi, salah seorang dari kelompok Khawarij—pembelot dari kalangan Ali—bernama Ibn Muljam berhasil menebas Sayyidina ‘Ali di pagi buta saat beliau hendak salat berjamah subuh.
Posisi Muawiyah kian kuat. Memang Hasan bin Ali dibaiat di Kuffah untuk melanjutkan kepemimpinan ayahandanya, tapi pada akhirnya beliau malah memilih berdamai ketimbang disibukkan urusan kenegaraan. Alasan lain, sangat mungkin Hasan letih dengan peperangan antara kaum muslimin. Hasan menyerahkan daerah kekuasaannya dengan mengajukan beberapa syarat. Pertama, Muawiyah harus dalam menjalan kepemerintahannya harus berpegan teguh kepada Al-Quran, al-Sunnah, dan sirah Khalifah yang empat. Kedua, Mu’awiyah tidak boleh menunjuk seseorang sebagai penggantinya. Ketiga, urusan kepemimpinan setelah Muawiyah harus diserahkan kepada kaum muslimin. Keempat, menjamin keselamatan jiwa pendukung ‘Ali.
Kini mantaplah posisi Mu’awiyah. Ibu kota berpindah ke Damaskus.
2.      Dari Demokratis Ke Kerajaan
Di masa Khalifah yang empat, sistem pemilihan pemimpin ditetapkan dengan permusyawaratan. Mu’awiyah memilih bentuk kerajaan dengan pertimbangan untuk menghindari kekisruhan dan perpecahan. Boleh jadi ada muatan politisnya, misalnya ambisi untuk menguasai dunia Islam dengan dinastinya sendiri atau mempermudah jalan putranya, demikian dugaan segelintir sejarawan. Kemungkinan nuansa politis ini disanggah beberapa sejarawan terkemuka, diantaranya adalah Ibn Khaldun yang mengatakan: tidak ada motif lain bagi Muawiyah dalam peristiwa ini (mengangkat putranya sendiri) sebab integritas dan statusnya sebagai sahabat Nabi terkemuka dan penulis wahyu menghalanginya untuk melakukan yang demikian (mengangkat putranya karena motif kekuasaan misalnya).
Sebagaian besar peralihan kepemimpin dalam Dinasti Umayyah ini adalah penunjukkan secara individual. Pemimpin yang merasakan ajalnya mendekat, mulai menunjuk penggantinya, yang biasanya itu adalah putranya sendiri.
3.      Pencapaian-Pencapaian Dinasti Umayyah
Sepintas kilas dinasti ini dibagun setidaknya dengan dua pondasi kecurangan. Pertama, Amr bin Ash yang malah mengokohkan kepemimpinan Muawiyah setelah sebelumnya Musa al-As’ayri melepaskan posisi Ali. Kedua, tidak dipenuhinya perjanjian mereka dengan Hasan, yaitu dengan penunjukkan Yazid oleh Mu’awiyah untuk menggantikan posisinya.
Memang perang Shiffin menyisakan kenangan pahit. Ali adalah sahabat, sepupu, bahkan menantu Rasulullah saw. Mu’awiyyah adalah sahabat Rasul dan penulis wahyu. Siapa diantara mereka yang salah? Pertanyaan ini sukar dijawab; bukan hanya karena keduanya adalah figur saleh, tapi juga menentukan siapa yang salah kurang penting. Lalu mengapa mereka bertikai? Pertanyaan inilah yang banyak dijawab oleh sejarawan. Perbedaan pendapat di antara mereka yang berujung pada peristiwa peperangan dan saling bunuh, tidak keluar dari masalah ijtihad. Telah disepakati, seorang mujtahid, tak peduli salah atau benar, tetap mendapatkan pahala atas usahanya mencari kebenaran. Yang salah dapat satu, dan yang benar dapat dua. Jadi baik pihak Ali maupun Muawiyyah berhak mendapatkan pahala. Soal siapa yang dapat satu atau dua, tidaklah penting atau fakta sejarah tidak mendukung untuk menjawab hal tersebut.
Oleh karena itu, melihat dan mencontoh pencapaian dan prestasi dinasti ini lebih penting. Kemudian berpindah kepada masa kemunduran dan robohnya dinasti ini berikut faktor-faktornya. Mengambil pelajaran mengapa suatu peradaban akhirnya hancur adalah pokok utama dari pembahasan sejarah manapun.
Berikut ini adalah beberapa pencapaian dinasti Umayyah dalam beberapa bidang dengan deskripsi singkat dalam masing-masing khalifahnya.
1.      Muawiyah ibn Abi Sufyan (661-681 M)
Pada masa pemerintahannya, ia melanjutkan perluasan wilayah kekuasaan Islam yang terhenti pada masa Khalifah Ustman dan Ali. Disamping itu ia juga mengatur tentara dengan cara baru dengan meniru aturan yang ditetapkan oleh tentara di Bizantium, membangun administrasi pemerintahan dan juga menetapkan aturan kiriman pos. Pemerintah Muawiyah dikenal dengan pemerintahan yang agresif. Di zamanya, Uqbah bin Nafi dengan dukungan orang-orang Barbar mengalahkan tentara Bizantium di Afrika. Pada tahun 670 M, ia mendirikan biarawan sebagai tempat perkemahan permanen. Serangannya telah sampai ke Atlantik, tetapi dalam perjalanan pulang ia dibunuh oleh seorang kepala suku Barbar. Di sebelah timur, Muawiyah berhasil menguasai Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. Angkataan lautnya menyerang ibu kota Bizantium, Constantinopel.
Muawiyah meninggal Dunia dalam usia 80 tahun dan dimakamkan di Damaskus di pemakaman Bab Al-Shagier.
2.      Yazid ibn Muawiyah (681-683 M)
Lahir pada tahun 22 H/643 M. Pada tahun 679 M, Muawiyah mencalonkan anaknya, Yazid, untuk menggantikan dirinya. Yazid menjabat sebagai Khalifah dalam usia 34 tahun pada tahun 681 M. Ketika Yazid naik tahta, sejumlah tokoh di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Ia kemudian mengirim surat kepada Gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husein ibn Ali dan Abdullah ibn Zubair. Bersamaan dengan itu, Syi’ah (pengikut Ali) melakukan konsolidasi (penggabungan) kekuatan kembali. Perlawanan terhadap Bani Umayyah dimulai oleh Husein ibn Ali. Pada tahun 680 M, ia pindah dari Mekkah ke Kufah atas permintaan golongan Syi’ah yang ada di Irak. Umat Islam di daerah ini tidak mengakui Yazid. Mereka mengangkat Husein sebagai Khalifah. Dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karbela, sebuah daerah di dekat Kufah, tentara Husein kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbala (Yatim, 2003:45).
Masa pemerintahan Yazid dikenal dengan empat hal yang sangat hitam sepanjang sejarah Islam. Pertama, Pembunuhan Husein ibn Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad. Kedua, Pelaksanaan Al-ibahat terhadap kota suci Madinah al-Munawarah. Ketiga, Penggempuran terhadap baiat Allah. Keempat, Pertama kalinya memakai dan menggunakan orang-orang yang dikebiri untuk barisan pelayan rumah tangga khalif di dalam istana. Ia Meninggal pada tahun 64 H/683 M dalam usia 38 tahun dan masa pemerintahannya ialah 3 tahun 6 bulan.
3.      Muawiyah ibn Yazid (683-684 M)
Muawiyah ibn Yazid menjabat sebagai Khalifah pada tahun 683-684 M dalam usia 23 tahun. Dia seorang yang berwatak lembut. Dalam pemerintahannya, terjadi masa krisis dan ketidakpastian, yaitu timbulnya perselisihan antar suku diantara orang-orang Arab sendiri. Ia memerintah hanya selama enam bulan.
4.      Marwan ibn Al-Hakam (684-685 M)
Sebelumnya menjabat sebagai penasihat Khalifah Ustman bin Affan, ia berhasil memperoleh dukungan dari sebagian orang Syiria dengan cara menyuap dan memberikan berbagai hak kepada masing-masing kepala suku. Untuk mengukuhkan jabatan Khalifah yang dipegangnya maka Marwan sengaja mengawini janda Khalifah Yazid, Ummu Khalid. Selama masa pemerintahannya tidak meninggalkan jejak yang penting bagi perkembangan sejarah Islam. Ia wafat dalam usia 63 tahun dan masa pemerintahannya selama 9 bulan 18 hari.
5.      Abdul Malik ibn Marwan (685-705 M)
Abdul Malik ibn Marwan dilantik sebagai Khalifah setelah kematian ayahnya, pada tahun 685 M. Di bawah kekuasaan Abdul Malik, kerajaan Umayyah mencapai kekuasaan dan kemulian. Ia terpandang sebagai Khalifah yang perkasa dan negarawan yang cakap dan berhasil memulihkan kembali kesatuan Dunia Islam dari para pemberontak, sehingga pada masa pemerintahan selanjutnya, di bawah pemerintahan Walid bin Abdul Malik Daulah bani Umayyah dapat mencapai puncak kejayaannya. Ia wafat pada tahun 705 M dalam usia yang ke-60 tahun. Ia meninggalkan karya-karya terbesar didalam sejarah Islam. Masa pemerintahannya berlangsung selama 21 tahun, 8 bulan. Dalam masa pemerintahannya, ia menghadapi sengketa dengan khalif Abdullah ibn Zubair.
6.      Al-Walid ibn Abdul Malik (705-715 M)
Masa pemerintahan Walid ibn Malik adalah masa ketentraman, kemakmuran dan ketertiban. Umat Islam merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya tercatat suatu peristiwa besar, yaitu perluasan wilayah kekuasaan dari Afrika Utara menuju wilayah Barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Perluasan wilayah kekuasaan Islam juga sampai ke Andalusia (Spanyol) dibawah pimpinan panglima Thariq bin Ziad. Perjuangan panglima Thariq bin Ziad mencapai kemenangan, sehingga dapat menguasai kota Kordova, Granada dan Toledo.
Selain melakukan perluasan wilayah kekuasaan Islam, Walid juga melakukan pembangunan besar-besaran selama masa pemerintahannya untuk kemakmuran rakyatnya. Khalifah Walid ibn Malik meninggalkan nama yang sangat harum dalam sejarah Daulah Bani Umayyah dan merupakan puncak kebesaran Daulah tersebut.
7.      Sulaiman ibn Abdul Malik (715-717 M)
Sulaiman Ibn Abdul Malik menjadi Khalifah pada usia 42 tahun. Masa pemerintahannya berlangsung selama 2 tahun, 8 bulan. Ia tidak memiliki kepribadian yang kuat hingga mudah dipengaruhi penasehat-penasehat sendiri. Menjelang saat terakhir pemerintahannya barulah ia memanggil Gubernur wilayah Hijaz, yaitu Umar bin Abdul Aziz, yang kemudian diangkat menjadi penasehatnya dengan memegang jabatan wazir besar.
Hasratnya untuk memperoleh nama baik dengan penaklukan ibu kota Constantinople gagal. Satu-satunya jasa yang dapat dikenangnya dari masa pemerintahannya ialah menyelesaikan dan menyiapkan pembangunan Jamiul Umawi yang terkenal megah dan agung di Damaskus.
8.      Umar Ibn Abdul Aziz (717-720 M)
Umar ibn Abdul Aziz menjabat sebagai Khalifah pada usia 37 tahun. Ia terkenal adil dan sederhana. Ia ingin mengembalikan corak pemerintahan seperti pada zaman khulafaur rasyidin. Pemerintahan Umar meninggalkan semua kemegahan Dunia yang selalu ditunjukkan oleh orang Bani Umayyah.
Ketika dinobatkan sebagai Khalifah, ia menyatakan bahwa memperbaiki dan meningkatkan negeri yang berada dalam wilayah Islam lebih baik daripada menambah perluasannya (Amin, 1987:104). Ini berarti bahwa prioritas utama adalah pembangunan dalam negeri. Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, ia berhasil menjalin hubungan baik dengan Syi’ah. Ia juga memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Pajak diperingan. Kedudukan mawali (orang Islam yang bukan dari Arab) disetarakan dengan Muslim Arab. Pemerintahannya membuka suatu pertanda yang membahagiakan bagi rakyat. Umar bin Abdul Aziz yang terkenal sebagai pemimpin negara yang zuhud, sering mengundang ulama dan ahli fikih untuk mengkaji ilmu di majlisnya. Pada masanya, ada larangan mencaci lawan politik dalam khotbah. Ketakwaan dan keshalehannya patut menjadi teladan. Ia selalu berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Ia meninggal pada tahun 720 M dalam usia 39 tahun, dimakamkan di Deir Simon.
9.      Yazid ibn Abdul Malik (720-724 M)
Yazid ibn Abdul Malik adalah seorang penguasa yang sangat gandrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat. Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketentraman dan kedamaian, pada zamannya berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid. Pemerintahan Yazid yang singkat itu hanya mempercepat proses kehancuran Imperium Umayyah. Pada waktu pemerintahan inilah propaganda bagi keturunan Bani Abas mulai dilancarkan secara aktif. Dia wafat pada usia 40 tahun. Masa pemerintahannya berlangsung selama 4 tahun 1 bulan.
10.  Hisyam ibn Abdul Malik (724-743 M)
Hisyam ibn Abdul Malik menjabat sebagai Khalifah pada usia yang ke 35 tahun. Ia terkenal negarawan yang cakap dan ahli strategi militer. Pada masa pemerintahannya muncul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan ini berasal dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan mawali dan merupakan ancaman serius. Dalam perkembangan selanjutnya, kekuatan baru ini mampu menggulingkan Dinasti Umayyah dan menggantikannya dengan Dinasti baru, Bani Abbas. Pemerintahan Hisyam yang lunak dan jujur menyumbangkan jasa yang banyak untuk pemulihan keamanan dan kemakmuran, tetapi semua kebajikannya tidak bisa membayar kesalahan-kesalahan para pendahulunya, karena gerakan oposisi terlalu kuat, sehingga Khalifah tidak mampu mematahkannya.
Meskipun demikian, pada masa pemerintahan Khalifah Hisyam kebudayaan dan kesusastraan Arab serta lalu lintas dagang mengalami kemajuan. Dua tahun sesudah penaklukan pulau Sicilia pada tahun 743 M, ia wafat dalam usia 55 tahun. Masa pemerintahannya berlangsung selama 19 tahun 9 bulan. Sepeninggal Hisyam, Khalifah-Khalifah yang tampil bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini makin mempercepat runtuhnya Daulah Bani Ummayyah.
11.  Walid ibn Yazid (743-744 M)
Daulah Abbasiyah mengalami kemunduran dimasa pemerintahan Walid ibn Yazid. Ia berkelakuan buruk dan suka melanggar norma agama. Kalangan keluarga sendiri benci padanya. Dan ia mati terbunuh.
Meskipun demikian, kebijakan yang paling utama yang dilakukan olehWalid ibn Yazid ialah melipatkan jumlah bantuan sosial bagi pemeliharaan orang-orang buta dan orang-orang lanjut usia yang tidak mempunyai famili untuk merawatnya. Ia menetapkan anggaran khusus untuk pembiayaan tersebut dan menyediakan perawat untuk masing-masing orang. Dia sempat meloloskan diri dari penangkapan besar-besaran di Damaskus yang dilakukan oleh keponakannya. Masa pemerintahannya berlangsung selama 1 tahun 2 bulan. Dia wafat dalam usia 40 tahun.
12.  Yazid ibn Walid (Yazid III) (744 M)
Pemerintahan Yazid ibn Walid tidak mendapat dukungan dari rakyat, karena perbuatannya yang suka mengurangi anggaran belanja negara. Masa pemerintahannya penuh dengan kemelut dan pemberontakan. Masa pemerintahannya berlangsung selama16 bulan. Dia wafat dalam usia 46 tahun.
13.  Ibrahim ibn Malik (744 M)
Diangkatnya Ibrahim menjadi Khalifah tidak memperoleh suara bulat didalam lingkungan keluarga Bani Umayyah dan rakyatnya. Karena itu, keadaan negara semakin kacau dengan munculnya beberapa pemberontak. Ia menggerakkan pasukan besar berkekuatan 80.000 orang dari Armenia menuju Syiria. Ia dengan suka rela mengundurkan diri dari jabatan khilafah dan mengangkat baiat terhadap Marwan ibn Muhammad. Dia memerintah selama 3 bulan dan wafat pada tahun 132 H.
14.  Marwan ibn Muhammad (745-750 M)
Beliau seorang ahli negara yang bijaksana dan seorang pahlawan. Beberapa pemberontak dapat ditumpas, tetapi dia tidak mampu mengahadapi gerakan Bani Abbasiyah yang semakin kuat. Marwan ibn Muhammad melarikan diri ke Hurah, terus ke Damaskus. Namun Abdullah bin Ali yang ditugaskan membunuh Marwan oleh Abbas As-Syaffah selalu mengejarnya. Akhirnya sampailah Marwan di Mesir. Di Bushair, daerah al Fayyun Mesir, dia mati terbunuh oleh Shalih bin Ali, orang yang menerima penyerahan tugas dari Abdullah. Marwan terbunuh pada tanggal 27 Dzulhijjah 132 H\5 Agustus 750 M. Dengan demikian tamatlah kedaulatan Bani Umayyah, dan sebagai tindak lanjutnya dipegang oleh Bani Abbasiyah.
4.      Sebab-sebab hancurnya dinasti Umayah
Kita saksikan bahwa berdirinya dinasti Umayah tidak terlepas dari konflik dan intrik politik yang membekaskan kenangan buruk bagi musuhnya. Akibatnya, kelompok Khawarij dan Syiah untuk masa selanjutnya menetapkan diri sebagai oposisi dan merongrong kedaulatan dinasti Umayah.
Dua kelompok ini dan lainnya hanya bisa diatasi oleh pemimpin yang pandai dan tidak licik, serta berkepribadian baik di samping soliditas bani Umayah sendiri. Sayangnya, di masa-masa belakangan puak-puak Bani Umayah sibuk menebarkan konflik demi singgasana kekuasaan. Adanya pola hidup mewah di lingkungan istana menyebabkan anak-anak Khalifah tidak siap memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Di samping itu, golongan agama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.
Pertentangan antara suku-suku Arab yang sejak lama terbagi menjadi dua kelompok, yaitu Arab Utara yang disebut Mudariyah yang menempati Irak dan Arab Selatan (Himyariyah) yang berdiam di wilayah Suriah, juga pelengkap bagi faktor hancurnya Dinasti ini. Di zaman Dinasti Bani Umayyah persaingan antar etnis itu mencapai puncaknya, karena para Khalifah cenderung kepada satu pihak dan menafikan yang lainnya (Ali, 1981:169-170).
Di banyak pemerintahan dari dinasti Umyah ada ketidakpuasan sejumlah pemeluk Islam non Arab, yakni pendatang baru dari kalangan bangsa-bangsa taklukkan yang mendapatkan sebutan mawali. Status tersebut menggambarkan infeoritas di tengah-tengah keangkuhan orang-orang Arab yang mendapatkan fasilitas dari penguasa Umayyah. Padahal mereka bersama-sama Muslim Arab mengalami beratnya peperangan dan bahkan beberapa orang di antara mereka mencapai tingkatan yang jauh di atas rata-rata bangsa Arab. Tetapi harapan mereka untuk mendapatkan kedudukan dan hak-hak bernegara tidak dikabulkan. Seperti tunjangan tahunan yang diberikan kepada mawali itu jumlahnya jauh lebih kecil dibanding tunjangan yang dibayarkan kepada orang Arab (Watt, 1990:28).
Sistem pergantian Khalifah melalui garis keturunan adalah hal baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas. Kriterianya tidak jelas. Ketidakjelasan sistem pergantian Khalifah ini, bukan hanya ditolak oleh oposisi, bahkan menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat dikalangan anggota keluarga Istana (Hitti, 1970:281).
Penindasan terus menerus terhadap pengikut-pengikut Ali pada khususnya, dan terhadap Bani Hasyim (Hasyimiyah) pada umumnya, sehingga mereka menjadi oposisi yang kuat. Kekuatan baru ini, dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn Abdul al- Muthalib dan mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim, golongan Syi’ah, dan kaum mawali yang dikelasduakan. Hal ini menjadi penyebab langsung tergulingnya kekuasaan Dinasti Bani Umayyah. (Yatim, 2003:48-49 dan Hasymy, 1993:210).
Akhirnya imperium dengan daerah kekuasan terluas keenam (13.2 juta km²) di sepanjang sejarah (Bruce R. Gordon: 2005) ini menemukan ajalnya di tangan musuh-musuhnya dan di tangan diri mereka sendiri. Waalahu a’lam bisshawab! (Author: Abdul Wahid S.Sy)



0 komentar:

Posting Komentar

 

Catatan Tangan Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review