(Kilas Pintas Pendirian, Para Khalifah, dan
Keruntuhannya)
1.
Bermula Dari Perang
Shiffin
11 Shafar tahun 37 H, berlangsung peperangan antara kaum
muslimin. Pendukung Ali bin Thalib ra. versus Mu’aiwyah. Perang berlangsung
beberapa hari dan tanda-tanda kemenangan mulai condong ke pihak Ali. Ketika
kemenangan di depan mata kelompok Ali, tiba-tiba pihak Muawiyah menggunakan
taktik tahkim. Akhirnya dipilihlah Musa al-As’ariy dari pihak Ali dan Amr bin
Ash dari pihak Muawiyah untuk melakukan perundingan pada bulan Sya’ban 37 di
Dumat al-Jandal.
Hasil perundingan ini memberikan kebebasan penuh kepada
rakyat untuk memilih siapa yang memimpin mereka. Begitu Musa al-As’ariy
berikrar melepaskan kepemimpinan Ali dan Muawiyah, Amr bin Ash tampil dan malah
mengokohkan kepemimpinan Mu’ayiwah. Kecurangan pihak Mu’awiyah ini memperburuk
posisi ‘Ali. Ditambah lagi, salah seorang dari kelompok Khawarij—pembelot dari
kalangan Ali—bernama Ibn Muljam berhasil menebas Sayyidina ‘Ali di pagi buta
saat beliau hendak salat berjamah subuh.
Posisi Muawiyah kian kuat. Memang Hasan bin Ali dibaiat
di Kuffah untuk melanjutkan kepemimpinan ayahandanya, tapi pada akhirnya beliau
malah memilih berdamai ketimbang disibukkan urusan kenegaraan. Alasan lain,
sangat mungkin Hasan letih dengan peperangan antara kaum muslimin. Hasan
menyerahkan daerah kekuasaannya dengan mengajukan beberapa syarat. Pertama,
Muawiyah harus dalam menjalan kepemerintahannya harus berpegan teguh kepada
Al-Quran, al-Sunnah, dan sirah Khalifah yang empat. Kedua, Mu’awiyah tidak
boleh menunjuk seseorang sebagai penggantinya. Ketiga, urusan kepemimpinan
setelah Muawiyah harus diserahkan kepada kaum muslimin. Keempat, menjamin
keselamatan jiwa pendukung ‘Ali.
Kini mantaplah posisi Mu’awiyah. Ibu kota berpindah ke
Damaskus.
2.
Dari Demokratis Ke
Kerajaan
Di masa Khalifah yang empat, sistem pemilihan pemimpin
ditetapkan dengan permusyawaratan. Mu’awiyah memilih bentuk kerajaan dengan
pertimbangan untuk menghindari kekisruhan dan perpecahan. Boleh jadi ada muatan
politisnya, misalnya ambisi untuk menguasai dunia Islam dengan dinastinya
sendiri atau mempermudah jalan putranya, demikian dugaan segelintir sejarawan.
Kemungkinan nuansa politis ini disanggah beberapa sejarawan terkemuka,
diantaranya adalah Ibn Khaldun yang mengatakan: tidak ada motif lain bagi
Muawiyah dalam peristiwa ini (mengangkat putranya sendiri) sebab integritas dan
statusnya sebagai sahabat Nabi terkemuka dan penulis wahyu menghalanginya untuk
melakukan yang demikian (mengangkat putranya karena motif kekuasaan misalnya).
Sebagaian besar peralihan kepemimpin dalam Dinasti
Umayyah ini adalah penunjukkan secara individual. Pemimpin yang merasakan
ajalnya mendekat, mulai menunjuk penggantinya, yang biasanya itu adalah
putranya sendiri.
3.
Pencapaian-Pencapaian
Dinasti Umayyah
Sepintas kilas dinasti ini dibagun setidaknya dengan dua
pondasi kecurangan. Pertama, Amr bin Ash yang malah mengokohkan kepemimpinan
Muawiyah setelah sebelumnya Musa al-As’ayri melepaskan posisi Ali. Kedua, tidak
dipenuhinya perjanjian mereka dengan Hasan, yaitu dengan penunjukkan Yazid oleh
Mu’awiyah untuk menggantikan posisinya.
Memang perang Shiffin menyisakan kenangan pahit. Ali
adalah sahabat, sepupu, bahkan menantu Rasulullah saw. Mu’awiyyah adalah
sahabat Rasul dan penulis wahyu. Siapa diantara mereka yang salah? Pertanyaan
ini sukar dijawab; bukan hanya karena keduanya adalah figur saleh, tapi juga
menentukan siapa yang salah kurang penting. Lalu mengapa mereka bertikai?
Pertanyaan inilah yang banyak dijawab oleh sejarawan. Perbedaan pendapat di
antara mereka yang berujung pada peristiwa peperangan dan saling bunuh, tidak
keluar dari masalah ijtihad. Telah disepakati, seorang mujtahid, tak peduli
salah atau benar, tetap mendapatkan pahala atas usahanya mencari kebenaran.
Yang salah dapat satu, dan yang benar dapat dua. Jadi baik pihak Ali maupun
Muawiyyah berhak mendapatkan pahala. Soal siapa yang dapat satu atau dua,
tidaklah penting atau fakta sejarah tidak mendukung untuk menjawab hal
tersebut.
Oleh karena itu, melihat dan mencontoh pencapaian dan
prestasi dinasti ini lebih penting. Kemudian berpindah kepada masa kemunduran
dan robohnya dinasti ini berikut faktor-faktornya. Mengambil pelajaran mengapa
suatu peradaban akhirnya hancur adalah pokok utama dari pembahasan sejarah manapun.
Berikut ini adalah beberapa pencapaian dinasti Umayyah
dalam beberapa bidang dengan deskripsi singkat dalam masing-masing khalifahnya.
1.
Muawiyah ibn Abi
Sufyan (661-681 M)
Pada masa pemerintahannya, ia melanjutkan perluasan
wilayah kekuasaan Islam yang terhenti pada masa Khalifah Ustman dan Ali.
Disamping itu ia juga mengatur tentara dengan cara baru dengan meniru aturan
yang ditetapkan oleh tentara di Bizantium, membangun administrasi pemerintahan
dan juga menetapkan aturan kiriman pos. Pemerintah Muawiyah dikenal dengan
pemerintahan yang agresif. Di zamanya, Uqbah bin Nafi dengan dukungan
orang-orang Barbar mengalahkan tentara Bizantium di Afrika. Pada tahun 670 M,
ia mendirikan biarawan sebagai tempat perkemahan permanen. Serangannya telah
sampai ke Atlantik, tetapi dalam perjalanan pulang ia dibunuh oleh seorang
kepala suku Barbar. Di sebelah timur, Muawiyah berhasil menguasai Khurasan
sampai ke sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. Angkataan lautnya
menyerang ibu kota Bizantium, Constantinopel.
Muawiyah meninggal Dunia dalam usia 80 tahun dan
dimakamkan di Damaskus di pemakaman Bab Al-Shagier.
2.
Yazid ibn Muawiyah
(681-683 M)
Lahir pada tahun 22 H/643 M. Pada tahun 679 M, Muawiyah
mencalonkan anaknya, Yazid, untuk menggantikan dirinya. Yazid menjabat sebagai
Khalifah dalam usia 34 tahun pada tahun 681 M. Ketika Yazid naik tahta,
sejumlah tokoh di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Ia kemudian
mengirim surat kepada Gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk
mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk,
kecuali Husein ibn Ali dan Abdullah ibn Zubair. Bersamaan dengan itu, Syi’ah
(pengikut Ali) melakukan konsolidasi (penggabungan) kekuatan kembali. Perlawanan
terhadap Bani Umayyah dimulai oleh Husein ibn Ali. Pada tahun 680 M, ia pindah
dari Mekkah ke Kufah atas permintaan golongan Syi’ah yang ada di Irak. Umat
Islam di daerah ini tidak mengakui Yazid. Mereka mengangkat Husein sebagai
Khalifah. Dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karbela, sebuah daerah di
dekat Kufah, tentara Husein kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya
dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbala (Yatim,
2003:45).
Masa pemerintahan Yazid dikenal dengan empat hal yang
sangat hitam sepanjang sejarah Islam. Pertama, Pembunuhan Husein ibn Abi
Thalib, cucu Nabi Muhammad. Kedua, Pelaksanaan Al-ibahat terhadap kota suci
Madinah al-Munawarah. Ketiga, Penggempuran terhadap baiat Allah. Keempat, Pertama
kalinya memakai dan menggunakan orang-orang yang dikebiri untuk barisan pelayan
rumah tangga khalif di dalam istana. Ia Meninggal pada tahun 64 H/683 M dalam
usia 38 tahun dan masa pemerintahannya ialah 3 tahun 6 bulan.
3.
Muawiyah ibn Yazid
(683-684 M)
Muawiyah ibn Yazid menjabat sebagai Khalifah pada tahun
683-684 M dalam usia 23 tahun. Dia seorang yang berwatak lembut. Dalam
pemerintahannya, terjadi masa krisis dan ketidakpastian, yaitu timbulnya
perselisihan antar suku diantara orang-orang Arab sendiri. Ia memerintah hanya
selama enam bulan.
4.
Marwan ibn Al-Hakam
(684-685 M)
Sebelumnya menjabat sebagai penasihat Khalifah Ustman bin
Affan, ia berhasil memperoleh dukungan dari sebagian orang Syiria dengan cara
menyuap dan memberikan berbagai hak kepada masing-masing kepala suku. Untuk
mengukuhkan jabatan Khalifah yang dipegangnya maka Marwan sengaja mengawini
janda Khalifah Yazid, Ummu Khalid. Selama masa pemerintahannya tidak
meninggalkan jejak yang penting bagi perkembangan sejarah Islam. Ia wafat dalam
usia 63 tahun dan masa pemerintahannya selama 9 bulan 18 hari.
5.
Abdul Malik ibn
Marwan (685-705 M)
Abdul Malik ibn Marwan dilantik sebagai Khalifah setelah
kematian ayahnya, pada tahun 685 M. Di bawah kekuasaan Abdul Malik, kerajaan
Umayyah mencapai kekuasaan dan kemulian. Ia terpandang sebagai Khalifah yang
perkasa dan negarawan yang cakap dan berhasil memulihkan kembali kesatuan Dunia
Islam dari para pemberontak, sehingga pada masa pemerintahan selanjutnya, di
bawah pemerintahan Walid bin Abdul Malik Daulah bani Umayyah dapat mencapai
puncak kejayaannya. Ia wafat pada tahun 705 M dalam usia yang ke-60 tahun. Ia
meninggalkan karya-karya terbesar didalam sejarah Islam. Masa pemerintahannya
berlangsung selama 21 tahun, 8 bulan. Dalam masa pemerintahannya, ia menghadapi
sengketa dengan khalif Abdullah ibn Zubair.
6.
Al-Walid ibn Abdul
Malik (705-715 M)
Masa pemerintahan Walid ibn Malik adalah masa
ketentraman, kemakmuran dan ketertiban. Umat Islam merasa hidup bahagia. Pada
masa pemerintahannya tercatat suatu peristiwa besar, yaitu perluasan wilayah
kekuasaan dari Afrika Utara menuju wilayah Barat daya, benua Eropa, yaitu pada
tahun 711 M. Perluasan wilayah kekuasaan Islam juga sampai ke Andalusia
(Spanyol) dibawah pimpinan panglima Thariq bin Ziad. Perjuangan panglima Thariq
bin Ziad mencapai kemenangan, sehingga dapat menguasai kota Kordova, Granada
dan Toledo.
Selain melakukan perluasan wilayah kekuasaan Islam, Walid
juga melakukan pembangunan besar-besaran selama masa pemerintahannya untuk
kemakmuran rakyatnya. Khalifah Walid ibn Malik meninggalkan nama yang sangat
harum dalam sejarah Daulah Bani Umayyah dan merupakan puncak kebesaran Daulah
tersebut.
7.
Sulaiman ibn Abdul
Malik (715-717 M)
Sulaiman Ibn Abdul Malik menjadi Khalifah pada usia 42
tahun. Masa pemerintahannya berlangsung selama 2 tahun, 8 bulan. Ia tidak
memiliki kepribadian yang kuat hingga mudah dipengaruhi penasehat-penasehat
sendiri. Menjelang saat terakhir pemerintahannya barulah ia memanggil Gubernur
wilayah Hijaz, yaitu Umar bin Abdul Aziz, yang kemudian diangkat menjadi
penasehatnya dengan memegang jabatan wazir besar.
Hasratnya untuk memperoleh nama baik dengan penaklukan
ibu kota Constantinople gagal. Satu-satunya jasa yang dapat dikenangnya dari
masa pemerintahannya ialah menyelesaikan dan menyiapkan pembangunan Jamiul
Umawi yang terkenal megah dan agung di Damaskus.
8.
Umar Ibn Abdul Aziz
(717-720 M)
Umar ibn Abdul Aziz menjabat sebagai Khalifah pada usia
37 tahun. Ia terkenal adil dan sederhana. Ia ingin mengembalikan corak
pemerintahan seperti pada zaman khulafaur rasyidin. Pemerintahan Umar
meninggalkan semua kemegahan Dunia yang selalu ditunjukkan oleh orang Bani
Umayyah.
Ketika dinobatkan sebagai Khalifah, ia menyatakan bahwa
memperbaiki dan meningkatkan negeri yang berada dalam wilayah Islam lebih baik
daripada menambah perluasannya (Amin, 1987:104). Ini berarti bahwa prioritas
utama adalah pembangunan dalam negeri. Meskipun masa pemerintahannya sangat
singkat, ia berhasil menjalin hubungan baik dengan Syi’ah. Ia juga memberi
kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan
dan kepercayaannya. Pajak diperingan. Kedudukan mawali (orang Islam yang bukan
dari Arab) disetarakan dengan Muslim Arab. Pemerintahannya membuka suatu
pertanda yang membahagiakan bagi rakyat. Umar bin Abdul Aziz yang terkenal
sebagai pemimpin negara yang zuhud, sering mengundang ulama dan ahli fikih
untuk mengkaji ilmu di majlisnya. Pada masanya, ada larangan mencaci lawan
politik dalam khotbah. Ketakwaan dan keshalehannya patut menjadi teladan. Ia selalu
berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Ia meninggal pada tahun 720 M
dalam usia 39 tahun, dimakamkan di Deir Simon.
9.
Yazid ibn Abdul
Malik (720-724 M)
Yazid ibn Abdul Malik adalah seorang penguasa yang sangat
gandrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat. Masyarakat
yang sebelumnya hidup dalam ketentraman dan kedamaian, pada zamannya berubah
menjadi kacau. Dengan latar belakang dan kepentingan etnis politis, masyarakat
menyatakan konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid. Pemerintahan Yazid yang
singkat itu hanya mempercepat proses kehancuran Imperium Umayyah. Pada waktu
pemerintahan inilah propaganda bagi keturunan Bani Abas mulai dilancarkan
secara aktif. Dia wafat pada usia 40 tahun. Masa pemerintahannya berlangsung selama
4 tahun 1 bulan.
10.
Hisyam ibn Abdul
Malik (724-743 M)
Hisyam ibn Abdul Malik menjabat sebagai Khalifah pada
usia yang ke 35 tahun. Ia terkenal negarawan yang cakap dan ahli strategi
militer. Pada masa pemerintahannya muncul satu kekuatan baru yang menjadi
tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan ini berasal dari
kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan mawali dan merupakan ancaman
serius. Dalam perkembangan selanjutnya, kekuatan baru ini mampu menggulingkan
Dinasti Umayyah dan menggantikannya dengan Dinasti baru, Bani Abbas.
Pemerintahan Hisyam yang lunak dan jujur menyumbangkan jasa yang banyak untuk
pemulihan keamanan dan kemakmuran, tetapi semua kebajikannya tidak bisa
membayar kesalahan-kesalahan para pendahulunya, karena gerakan oposisi terlalu
kuat, sehingga Khalifah tidak mampu mematahkannya.
Meskipun demikian, pada masa pemerintahan Khalifah Hisyam
kebudayaan dan kesusastraan Arab serta lalu lintas dagang mengalami kemajuan.
Dua tahun sesudah penaklukan pulau Sicilia pada tahun 743 M, ia wafat dalam
usia 55 tahun. Masa pemerintahannya berlangsung selama 19 tahun 9 bulan.
Sepeninggal Hisyam, Khalifah-Khalifah yang tampil bukan hanya lemah tetapi juga
bermoral buruk. Hal ini makin mempercepat runtuhnya Daulah Bani Ummayyah.
11.
Walid ibn Yazid
(743-744 M)
Daulah Abbasiyah mengalami kemunduran dimasa pemerintahan
Walid ibn Yazid. Ia berkelakuan buruk dan suka melanggar norma agama. Kalangan
keluarga sendiri benci padanya. Dan ia mati terbunuh.
Meskipun demikian, kebijakan yang paling utama yang
dilakukan olehWalid ibn Yazid ialah melipatkan jumlah bantuan sosial bagi
pemeliharaan orang-orang buta dan orang-orang lanjut usia yang tidak mempunyai
famili untuk merawatnya. Ia menetapkan anggaran khusus untuk pembiayaan
tersebut dan menyediakan perawat untuk masing-masing orang. Dia sempat
meloloskan diri dari penangkapan besar-besaran di Damaskus yang dilakukan oleh
keponakannya. Masa pemerintahannya berlangsung selama 1 tahun 2 bulan. Dia
wafat dalam usia 40 tahun.
12.
Yazid ibn Walid
(Yazid III) (744 M)
Pemerintahan Yazid ibn Walid tidak mendapat dukungan dari
rakyat, karena perbuatannya yang suka mengurangi anggaran belanja negara. Masa
pemerintahannya penuh dengan kemelut dan pemberontakan. Masa pemerintahannya
berlangsung selama16 bulan. Dia wafat dalam usia 46 tahun.
13.
Ibrahim ibn Malik
(744 M)
Diangkatnya Ibrahim menjadi Khalifah tidak memperoleh
suara bulat didalam lingkungan keluarga Bani Umayyah dan rakyatnya. Karena itu,
keadaan negara semakin kacau dengan munculnya beberapa pemberontak. Ia
menggerakkan pasukan besar berkekuatan 80.000 orang dari Armenia menuju Syiria.
Ia dengan suka rela mengundurkan diri dari jabatan khilafah dan mengangkat
baiat terhadap Marwan ibn Muhammad. Dia memerintah selama 3 bulan dan wafat
pada tahun 132 H.
14.
Marwan ibn Muhammad
(745-750 M)
Beliau seorang ahli negara yang bijaksana dan seorang
pahlawan. Beberapa pemberontak dapat ditumpas, tetapi dia tidak mampu
mengahadapi gerakan Bani Abbasiyah yang semakin kuat. Marwan ibn Muhammad
melarikan diri ke Hurah, terus ke Damaskus. Namun Abdullah bin Ali yang
ditugaskan membunuh Marwan oleh Abbas As-Syaffah selalu mengejarnya. Akhirnya
sampailah Marwan di Mesir. Di Bushair, daerah al Fayyun Mesir, dia mati
terbunuh oleh Shalih bin Ali, orang yang menerima penyerahan tugas dari
Abdullah. Marwan terbunuh pada tanggal 27 Dzulhijjah 132 H\5 Agustus 750 M.
Dengan demikian tamatlah kedaulatan Bani Umayyah, dan sebagai tindak lanjutnya
dipegang oleh Bani Abbasiyah.
4.
Sebab-sebab
hancurnya dinasti Umayah
Kita saksikan bahwa berdirinya dinasti Umayah tidak
terlepas dari konflik dan intrik politik yang membekaskan kenangan buruk bagi
musuhnya. Akibatnya, kelompok Khawarij dan Syiah untuk masa selanjutnya
menetapkan diri sebagai oposisi dan merongrong kedaulatan dinasti Umayah.
Dua kelompok ini dan lainnya hanya bisa diatasi oleh
pemimpin yang pandai dan tidak licik, serta berkepribadian baik di samping
soliditas bani Umayah sendiri. Sayangnya, di masa-masa belakangan puak-puak
Bani Umayah sibuk menebarkan konflik demi singgasana kekuasaan. Adanya pola
hidup mewah di lingkungan istana menyebabkan anak-anak Khalifah tidak siap
memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Di samping
itu, golongan agama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap
perkembangan agama sangat kurang.
Pertentangan antara suku-suku Arab yang sejak lama
terbagi menjadi dua kelompok, yaitu Arab Utara yang disebut Mudariyah yang
menempati Irak dan Arab Selatan (Himyariyah) yang berdiam di wilayah Suriah,
juga pelengkap bagi faktor hancurnya Dinasti ini. Di zaman Dinasti Bani Umayyah
persaingan antar etnis itu mencapai puncaknya, karena para Khalifah cenderung
kepada satu pihak dan menafikan yang lainnya (Ali, 1981:169-170).
Di banyak pemerintahan dari dinasti Umyah ada ketidakpuasan
sejumlah pemeluk Islam non Arab, yakni pendatang baru dari kalangan
bangsa-bangsa taklukkan yang mendapatkan sebutan mawali. Status tersebut
menggambarkan infeoritas di tengah-tengah keangkuhan orang-orang Arab yang
mendapatkan fasilitas dari penguasa Umayyah. Padahal mereka bersama-sama Muslim
Arab mengalami beratnya peperangan dan bahkan beberapa orang di antara mereka
mencapai tingkatan yang jauh di atas rata-rata bangsa Arab. Tetapi harapan
mereka untuk mendapatkan kedudukan dan hak-hak bernegara tidak dikabulkan.
Seperti tunjangan tahunan yang diberikan kepada mawali itu jumlahnya jauh lebih
kecil dibanding tunjangan yang dibayarkan kepada orang Arab (Watt, 1990:28).
Sistem pergantian Khalifah melalui garis keturunan adalah
hal baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas. Kriterianya
tidak jelas. Ketidakjelasan sistem pergantian Khalifah ini, bukan hanya ditolak
oleh oposisi, bahkan menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat
dikalangan anggota keluarga Istana (Hitti, 1970:281).
Penindasan terus menerus terhadap pengikut-pengikut Ali
pada khususnya, dan terhadap Bani Hasyim (Hasyimiyah) pada umumnya, sehingga
mereka menjadi oposisi yang kuat. Kekuatan baru ini, dipelopori oleh keturunan
al-Abbas ibn Abdul al- Muthalib dan mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim,
golongan Syi’ah, dan kaum mawali yang dikelasduakan. Hal ini menjadi penyebab
langsung tergulingnya kekuasaan Dinasti Bani Umayyah. (Yatim, 2003:48-49 dan
Hasymy, 1993:210).
Akhirnya imperium dengan daerah kekuasan terluas keenam
(13.2 juta km²) di sepanjang sejarah (Bruce R. Gordon: 2005) ini menemukan
ajalnya di tangan musuh-musuhnya dan di tangan diri mereka sendiri. Waalahu
a’lam bisshawab! (Author: Abdul Wahid S.Sy)
0 komentar:
Posting Komentar